Politik Demokrasi Indonesia dinilai masih terjebak pada dominasi tradisi
feodal dan oligarkis yang cenderung mengarah pada politik dinasti.
Dalam sistem demokrasi yang dibangun pascareformasi, kecenderungan itu
kontraproduktif, bahkan merusak konsolidasi demokrasi. Penilaian itu
disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Siti Zuhro dan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto. Menurut mereka, kondisi tersebut menjadi
pemicu lambatnya regenerasi kepemimpinan Indonesia. Gun Gun menandaskan,partai
politik modern semestinya berbasis kader.
Namun yang terjadi saat ini, distribusi dan alokasi sumber daya manusia ke
jabatan-jabatan publik lebih banyak ditentukan segelintir elite. Dengan
demikian,mekanisme yang terjadi adalah darioleh- dan untuk mereka yang menjadi
elite partai. ”Nah, tradisi ini tentu akan menjadi tantangan partai politik ke
depan,” ujar Gun Gun saat dihubungi Harian SINDO tadi malam.
Siti Zuhro mengatakan,parpol sebagai aktor pengawal konsolidasi demokrasi
harusnya menjalankan perannya dengan terarah untuk melakukan kaderisasi,
rekrutmen,dan pendidikan politik.Namun kenyataannya undang-undang paket politik
yang dihasilkan DPR dan pemerintah yang notabene didominasi parpol juga tidak
berorientasi pada sistem kepartaian yang ideal dalam rangka mewujudkan
demokrasi substantif.
Dalam pandangannya,yang terjadi sekarang ini adalah sistem politik campuran
antara politik Orde Baru yang patrimonial dengan sistem demokrasi yang dimulai
pada 1998 yang sayangnya hanya proseduralnya saja.“Implikasi negatifnya memberi
pengaruh tak bagus dalam suksesi dalam parpol. Parpol sekadar kerumunan fans
club ketimbang melaksanakan fungsi parpol di negara demokrasi.Ini sama juga
dengan politik dinasti,” kata Siti Zuhro saat diskusi Polemik SINDO Radio
bertajuk “Politik Dinasti di Negeri Demokrasi” kemarin di Jakarta.
Siti melihat hampir semua parpol sekarang ini masih menerapkan sistem
oligarkis dan cenderung membangun dinasti kelompoknya. Itulah yang kemudian
melahirkan multiplikasi aktor politik. Penguasa atau pemimpin hanya untuk
kalangan tertentu atau yang biasa disebut oligarki.“ Demokrasi merosot ketika
sirkulasi elite dikuasai kelompok tertentu,”ungkapnya. Hal itu, lanjutnya,
kemudian merusak fungsi ideal parpol sebagai wadah kaderisasi kepemimpinan.
Sebab,dalam sistem politik seperti itu tradisinya adalah menerobos sekat
jalur formal. ”Politik dinasti melahirkan mental penerobos. Mereka yang duduk
di posisi strategis tak alami dan tak susah payah membangun karier
politik,”tandasnya. Kekhawatiran Indonesia akan terjebak dalam demokrasi
oligarkis yang menjurus pada politik dinasti muncul seiring dengan wacana
pencalonan Ibu Negara Ani Yudhoyono sebagai calon presiden pada Pemilihan
Presiden 2014 nanti.
Walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan keluarganya
tidak akan mencalonkan diri,sejumlah kalangan demokrat kencang mendorong
pencapresan istrinya tersebut. Fungsionaris DPP Partai Demokrat Rachlan Nasidik
membantah partainya mengarah pada konsolidasi menuju politik dinasti. Menurut dia,
Partai Demokrat bisa sebesar seperti sekarang ini justru karena menjadi partai
modern.
Bukan partai dinasti yang hanya mengakomodir kelompok tertentu. ”Partai
Demokrat tidak tertarik pada dinasti politik,”katanya. Dia kemudian
mencontohkan bagaimana sikap tegas Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak akan merestui keluarganya maju di Pilpres
2014. Sikap itu, kata dia, menunjukkan bahwa SBY sebagai figur sentral Partai
Demokrat tidak menghendaki partai ini menjadi milik kelompok tertentu.
Terlepas dari sekarang ini ada kader yang mewacanakan pencalonan Ani
Yudhoyono, hal itu bukan sebagai upaya menyempitkan ruang gerak dan peluang
putraputri terbaik bangsa untuk dicalonkan dari Demokrat. ”Pendapat tersebut
hanyalah pendapat pribadi kader masing- masing.Itu tidak mewakili majelis
tinggi partai, apalagi pendapat SBY dan keluarga. Itu hanya bentuk penghargaan
kader terhadap kapasitas Ibu Ani,”ungkapnya.
Adapun Sekjen DPP PAN Taufik Kurniawan menilai dalam demokrasi langsung
sebenarnya sudah tidak relevan lagi bicara masalah politik dinasti. Sebab,
rakyat punya kedaulatan penuh untuk menentukan siapa pemimpin yang hendak
dipilihnya. ”Justru komitmen masyarakat sekarang ini yang juga amanat reformasi
adalah memberantas KKN. Mereka yang terlibat nepotisme akan disingkirkan oleh
masyarakat,” katanya.
Namun, lanjutnya, perlu ada asas kepatutan politik yang harus menjadi
komitmen bersama agar demokrasi langsung ini benar-benar menghasilkan pemimpin
yang berintegritas dan berkualitas. Dia mencontohkan larangan kepala daerah
menjabat lebih dari dua kali kemudian maju menjadi wakil itu secara etika dan
kepatutan politik juga patut dipertanyakan.
”Jadi prinsip yang harus dipegang adalah bahwa dalam demokrasi sekarang ini
semua orang punya kesempatan sama dalam politik. Tinggal komitmen yang perlu
dibangun adalah bagaimana itu dijalankan tanpa ada penyelewengan dan
ketidakadilan yang justru mencederai demokrasi,”jelasnya.
Sementara itu politikus Partai Golkar Indra J Piliang menolak anggapan
semua parpol di Indonesia menerapkan sistem oligarkis.Menurut dia, oligarkis
atau tidaknya partai bisa dilihat dari bagaimana kesempatan yang diberikan bagi
semua kader.Sementara untuk melihat ada politik dinasti atau tidak di suatu
parpol,yang mesti dilihat adalah bagaimana kompetisi yang terjadi di lingkup
internal partai tersebut.
Untuk itu, jika partai tertentu sehat kompetisinya dan terbuka lebar
kesempatan dan peluang kadernya untuk mengembangkan potensinya, maka partai itu
dikelola secara demokratis dan modern. ”Di lingkup internal Golkar setiap kader
mempunyai kesempatan yang sama untuk maju sebagai calon presiden. Adanya
penolakan dari berapa pihak terhadap Pak Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal
Bakrie),ini menandakan tidak ada politik dinasti di tubuh Golkar,”katanya.
Indra bahkan mengklaim bahwa kompetisi di Golkar lebih keras dan terbuka
dibandingkan dinamika di partaipartai lain yang cenderung searah. Namun, dia
menggariskan, semua kader Golkar dituntut taat aturan main organisasi sehingga
ketika kompetisi telah diputuskan, perbedaan telah didiskusikan, dan kemudian
ada kesimpulan, semuanya harus taat pada keputusan partai. Meski begitu, Indra
mengakui saat ini di daerah tumbuh subur praktik politik dinasti, termasuk di
Partai Golkar.
Menurutnya, politik dinasti bangkit setelah reformasi,khususnya setelah
menguatnya otonomi daerah. ”Ini muncul terutama sejak otonomi daerah. Politik
dinasti riil di tingkat daerah, di daerah justru lebih kuat,”ujarnya.
Sumber Referensi :
www.google.com
www.yahoo.com
www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar