Kamis, 31 Mei 2012

Politik Dinasti yang merusak Politik Demokrasi

Politik Demokrasi Indonesia dinilai masih terjebak pada dominasi tradisi feodal dan oligarkis yang cenderung mengarah pada politik dinasti. 
Dalam sistem demokrasi yang dibangun pascareformasi, kecenderungan itu kontraproduktif, bahkan merusak konsolidasi demokrasi. Penilaian itu disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto. Menurut mereka, kondisi tersebut menjadi pemicu lambatnya regenerasi kepemimpinan Indonesia. Gun Gun menandaskan,partai politik modern semestinya berbasis kader.
Namun yang terjadi saat ini, distribusi dan alokasi sumber daya manusia ke jabatan-jabatan publik lebih banyak ditentukan segelintir elite. Dengan demikian,mekanisme yang terjadi adalah darioleh- dan untuk mereka yang menjadi elite partai. ”Nah, tradisi ini tentu akan menjadi tantangan partai politik ke depan,” ujar Gun Gun saat dihubungi Harian SINDO tadi malam.
Siti Zuhro mengatakan,parpol sebagai aktor pengawal konsolidasi demokrasi harusnya menjalankan perannya dengan terarah untuk melakukan kaderisasi, rekrutmen,dan pendidikan politik.Namun kenyataannya undang-undang paket politik yang dihasilkan DPR dan pemerintah yang notabene didominasi parpol juga tidak berorientasi pada sistem kepartaian yang ideal dalam rangka mewujudkan demokrasi substantif.
Dalam pandangannya,yang terjadi sekarang ini adalah sistem politik campuran antara politik Orde Baru yang patrimonial dengan sistem demokrasi yang dimulai pada 1998 yang sayangnya hanya proseduralnya saja.“Implikasi negatifnya memberi pengaruh tak bagus dalam suksesi dalam parpol. Parpol sekadar kerumunan fans club ketimbang melaksanakan fungsi parpol di negara demokrasi.Ini sama juga dengan politik dinasti,” kata Siti Zuhro saat diskusi Polemik SINDO Radio bertajuk “Politik Dinasti di Negeri Demokrasi” kemarin di Jakarta.
Siti melihat hampir semua parpol sekarang ini masih menerapkan sistem oligarkis dan cenderung membangun dinasti kelompoknya. Itulah yang kemudian melahirkan multiplikasi aktor politik. Penguasa atau pemimpin hanya untuk kalangan tertentu atau yang biasa disebut oligarki.“ Demokrasi merosot ketika sirkulasi elite dikuasai kelompok tertentu,”ungkapnya. Hal itu, lanjutnya, kemudian merusak fungsi ideal parpol sebagai wadah kaderisasi kepemimpinan.
Sebab,dalam sistem politik seperti itu tradisinya adalah menerobos sekat jalur formal. ”Politik dinasti melahirkan mental penerobos. Mereka yang duduk di posisi strategis tak alami dan tak susah payah membangun karier politik,”tandasnya. Kekhawatiran Indonesia akan terjebak dalam demokrasi oligarkis yang menjurus pada politik dinasti muncul seiring dengan wacana pencalonan Ibu Negara Ani Yudhoyono sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden 2014 nanti.
Walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan keluarganya tidak akan mencalonkan diri,sejumlah kalangan demokrat kencang mendorong pencapresan istrinya tersebut. Fungsionaris DPP Partai Demokrat Rachlan Nasidik membantah partainya mengarah pada konsolidasi menuju politik dinasti. Menurut dia, Partai Demokrat bisa sebesar seperti sekarang ini justru karena menjadi partai modern.
Bukan partai dinasti yang hanya mengakomodir kelompok tertentu. ”Partai Demokrat tidak tertarik pada dinasti politik,”katanya. Dia kemudian mencontohkan bagaimana sikap tegas Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak akan merestui keluarganya maju di Pilpres 2014. Sikap itu, kata dia, menunjukkan bahwa SBY sebagai figur sentral Partai Demokrat tidak menghendaki partai ini menjadi milik kelompok tertentu.
Terlepas dari sekarang ini ada kader yang mewacanakan pencalonan Ani Yudhoyono, hal itu bukan sebagai upaya menyempitkan ruang gerak dan peluang putraputri terbaik bangsa untuk dicalonkan dari Demokrat. ”Pendapat tersebut hanyalah pendapat pribadi kader masing- masing.Itu tidak mewakili majelis tinggi partai, apalagi pendapat SBY dan keluarga. Itu hanya bentuk penghargaan kader terhadap kapasitas Ibu Ani,”ungkapnya. 
Adapun Sekjen DPP PAN Taufik Kurniawan menilai dalam demokrasi langsung sebenarnya sudah tidak relevan lagi bicara masalah politik dinasti. Sebab, rakyat punya kedaulatan penuh untuk menentukan siapa pemimpin yang hendak dipilihnya. ”Justru komitmen masyarakat sekarang ini yang juga amanat reformasi adalah memberantas KKN. Mereka yang terlibat nepotisme akan disingkirkan oleh masyarakat,” katanya.
Namun, lanjutnya, perlu ada asas kepatutan politik yang harus menjadi komitmen bersama agar demokrasi langsung ini benar-benar menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan berkualitas. Dia mencontohkan larangan kepala daerah menjabat lebih dari dua kali kemudian maju menjadi wakil itu secara etika dan kepatutan politik juga patut dipertanyakan.
”Jadi prinsip yang harus dipegang adalah bahwa dalam demokrasi sekarang ini semua orang punya kesempatan sama dalam politik. Tinggal komitmen yang perlu dibangun adalah bagaimana itu dijalankan tanpa ada penyelewengan dan ketidakadilan yang justru mencederai demokrasi,”jelasnya.
Sementara itu politikus Partai Golkar Indra J Piliang menolak anggapan semua parpol di Indonesia menerapkan sistem oligarkis.Menurut dia, oligarkis atau tidaknya partai bisa dilihat dari bagaimana kesempatan yang diberikan bagi semua kader.Sementara untuk melihat ada politik dinasti atau tidak di suatu parpol,yang mesti dilihat adalah bagaimana kompetisi yang terjadi di lingkup internal partai tersebut.
Untuk itu, jika partai tertentu sehat kompetisinya dan terbuka lebar kesempatan dan peluang kadernya untuk mengembangkan potensinya, maka partai itu dikelola secara demokratis dan modern. ”Di lingkup internal Golkar setiap kader mempunyai kesempatan yang sama untuk maju sebagai calon presiden. Adanya penolakan dari berapa pihak terhadap Pak Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie),ini menandakan tidak ada politik dinasti di tubuh Golkar,”katanya.
Indra bahkan mengklaim bahwa kompetisi di Golkar lebih keras dan terbuka dibandingkan dinamika di partaipartai lain yang cenderung searah. Namun, dia menggariskan, semua kader Golkar dituntut taat aturan main organisasi sehingga ketika kompetisi telah diputuskan, perbedaan telah didiskusikan, dan kemudian ada kesimpulan, semuanya harus taat pada keputusan partai. Meski begitu, Indra mengakui saat ini di daerah tumbuh subur praktik politik dinasti, termasuk di Partai Golkar.
Menurutnya, politik dinasti bangkit setelah reformasi,khususnya setelah menguatnya otonomi daerah. ”Ini muncul terutama sejak otonomi daerah. Politik dinasti riil di tingkat daerah, di daerah justru lebih kuat,”ujarnya.

Sumber Referensi :
www.google.com
www.yahoo.com
www.wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar